Rabu, 28 Mei 2014

Artikel: Politikus dan Kamera 360



Politikus dan kamera 360

Mengawali tulisan ini, mari sejenak memberi ucapan selamat kepada anggota DPRD yang telah resmi menduduki kursi jabatan, meski beberapa masih sementara kasak-kusuk dengan laporan kecurangan dan lain sebagainya.
Ada hal menarik yang patut menjadi perenungan kita bersama.  Jika kita flashback sebelum pemilu Legislatif kemarin, begitu riuhnya perayaan pesta demokrasi itu. Betapa tidak, para calon anggota Legislatif membuat banyak gebrakan dengan bersentuhan langsung ke grass root (masyarakat). Ada yang menggunakan jasa artis untuk mendulang suara, menabur seribu janji lewat podium dan ribuan baligho, ada juga yang tampil apa adanya. Hal terakhir dapat disebabkan karena ingin tampil secara alami dan ada juga karena alasan dana kampanye yang minim. Tampilan di baligho dan televisi pun harus diedit sedemikian rupa hingga betul-betul kelihatan gagah dan rupawan. Tak ayal jasa edit gambar dan reklame kebanjiran orderan. sifat ingin tampil sempurna para politikus ini tak ubahnya seperti aplikasi canggih yang sedang digandrungi masyarakat sekarang ini yang disebut kamera 360. Lihat saja namanya, kamera ini mampu mengubah hasil tangkapan obyek dari wajah yang kusem, kucel, hitam dan jelek menjadi gambar yang gagah dan rupawan. Betul-betul dapat merubah 360 derajat dari objek aslinya. Hal tersebut disebabkan karena tentu ingin tampil perfect di mata konstituen-nya.
Namun perfeksionisme berlebihan memiliki dampak negative. Dalam dunia psikologi, perfeksionisme berlebihan adalah gejala kelainan psikis yang diderita oleh seseorang. Dalam 16 Faktor Personal yg dijabarkan Raymond Cattell, Perfeksionis ditempatkan di Level Tertinggi Gangguan Jiwa, yang dideskripsikan sebagai kondisi orang yg "terorganisir, kompulsif, terlalu disiplin, memiliki hasrat berlebihan, memiliki hasrat utk menguasai /mengontrol, dan terlalu sentimentil". Di sisi lain, Abraham Maslow mengatakan bahwa sifat ingin dihargai dengan jalan tampil sempurna adalah jalan menuju aktualisasi diri (self actualization) dan itu merupakan puncak dari hierarki kebutuhan manusia.
Tak jauh beda dengan pemilihan anggota Legislatif, pemilihan presiden yang akan dihelat sebentar lagi telah terdengar gaungnya sejak beberapa waktu silam. Para kandidat silih berganti “mempercantik citra” lewat berbagai media . Tiap beberapa detik kita bisa saksikan calon Presiden dan wakilnya menyemai janji dan cerita kehebatan program mereka di televisi. Bentuk programnya pun beragam; ada yang berupa bantuan kredit petani dan pedagang, perbaikan infrastruktur, serta program beasiswa pendidikan. Menanggapi hal itu, sebagian masyarakat awam berpendapat bahwa hal itu merupakan artificial act (tindakan kepura-puraan) yang sifatnya temporer atau sementara. Mereka justru berharap bahwa program itu bukan sebuah kepura-puraan dan dapat bernafas panjang (long lasting), tidak hanya ada pada masa kampanye. Seorang teman menuliskan anekdot pada dinding facebook tentang tingkatan nilai mahasiswa ketika kuliah dan implikasinya terhadap masa depan. Seorang mahasiswa dengan nilai rata-rata A+ dapat diasumsikan akan menjadi seorang Profesor, Doktor ataupun ilmuwan. Mahasiswa dengan nilai rata-rata A atau B+ diasumsikan akan menjadi seorang guru sedangkan Range nilai dari B sampai D diasumsikan akan menjadi pekerja atau buruh. Nilai F diasumsikan  akan menjadi CEO sebuah perusahaan sedangkan mahasiswa yang mendapat nilai melalui kecurangan (cheat) disinyalir besar kemungkinan akan menjadi seorang politikus.
Tentu saja anekdot tersebut tidak sepenuhnya benar karena Negara ini dalam rentang sejarahnya memiliki polikus andal sekaliber Seoekarno, Adam Malik, Alamsyah Prawiranegara, M. Natsir, Sjahrir dan lain sebagainya yang notabene adalah orang-orang dengan kecerdasan di atas rata-rata. Hal itu dibuktikan pula dengan rekam jejak karya monumental mereka di tiap fase kehidupan masing-masing tokoh. Mario Teguh dalam sebuah episode acara inspiratifnya pernah berpesan bahwa orang takkan pernah berhasil berpura-pura dalam jangka waktu yang lama. Di lain waktu beliau menuliskan di media Twitter bahwa perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permusuhan dan pengkhianatan. Semoga Rakya Indonesia tak memberi ruang bagi pemimpin yang penuh kepura-puraan dan bersembunyi dibalik topeng kamera 360.  (awal Mei 2014)

Syahrir



Mahasiswa Pascasarjana ELS 2012 Universitas Hasanuddin
Penerima Beasiswa Bakrie Graduate Fellowship (BGF)
Penggiat Forum Lingkar Pena Cabang Makassar

3 komentar:

  1. kereeen juga nih tapi, blm sempat baca semua ane copas ya mr. nanti ane baca... baca awalnya ajah ane dan tertarik... hahaha next

    BalasHapus