Jumat, 07 Maret 2014

Cerpen: Luka Sedarah



Luka sedarah
                                                          Syahrir al-Ghifary


Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ketika sikap loba menguasai seseorang, maka tak ada alasan baginya untuk membesarkan hati. Rela berbagi berarti membiarkan dirinya menggenggam sedikit. Pada saat yang sama pedih melihat kebahagiaan menghinggapi sesamanya.
“Tolonglah tuan”.
“Tidak!”
“Sekali iniiii saja! Berikanlah kami kesempatan untuk menggarapnya. Bukankah kami juga punya hak atasnya?”
“Tahu apa kamu masalah hak? Hakmu tidak ada. Akulah satu-satunya yang berhak menentukan siapa yang akan memegangnya! Tidak juga rapat ini!”
“Pak Lurah, bicaralah! Bantulah kami. Jangan diam saja. Warga sekalian…., Pak Karim……., Pak Bahar, Bu Sita, ….mengapa kalian semua diam? “Suara parau wanita itu bercampur tangis yang tak berujung. Ada luka pengkhianatan menghujam dalam dadanya. Sementara tuan itu melemparkan pandangannya jauh keluar jendela. Seolah tak ada iba untuk wanita itu. Sebuah senyum kecut tersungging di wajahnya, senyum kemenangan. Pun manusia lain di ruangan pengap itu hanya bisa tertunduk. Takluk pada kedigdayaan sang tuan .
Tongkat, keriput dan rambut putih tak selamanya menghadiahi seseorang kebijaksanaan, terkadang sebaliknya.
“Rapat ini selesai. Saya mau pulang! ”seloroh tuan itu sembari terbatuk-bantuk lalu melangkah  gontai meninggalkan ruang rapat. Diikuti kerumunan yang sedari tadi diam tertunduk.
Hak memang menjadi benda yang mahal. Pada siapa ia disematkan, kadang harus ditentukan oleh uang, jabatan dan kekuasaan. Tepatnya ke -mahadigdaya-an.
Langit tiba-tiba menumpahkan isinya. Semburat jingga terusir oleh gelap yang menjelaga. Wanita itu masih saja duduk bersimpuh di depan pintu yang sedari tadi terkunci oleh petugasnya . Tatapan nanar ditujukan pada papan bertuliskan Balai Desa. Hatinya mengutuki nasibnya. Pun lembaga yang tak punya daya itu. Wajah piasnya bergeming, seolah tak hirau pada angin yang mengantar air pada tubuhnya.
“Sendiri. Aku benar-benar sendiri. Tak ada yang menghiraukanku”.Batinnya menjerit.
“Tuhaaaaaaaaaaan!”
***
Ibu. Perempuan dengan rasa pengorbanan yang tak terkalahkan oleh siapapun. Sosok pemberani yang rela bertaruh nyawa demi mendengar suara tangis bayinya. Tangis yang disambut bahagia. Tangis pertanda ada kehidupan baru yang akan mewarnai hari-harinya. Seperti yang dilakoni wanita itu. Berpuluh kali ia diusir, beratus kali ia bertaruh harga diri. Demi anak semata wayangnya. Juga hak yang ia warisi dari sang empunya, nenek moyangnya.
“Ibu, aku dengar ibu memperkarakan  hak itu lagi. Demi aku?” lelaki muda itu menatap  ibunya dalam-dalam. Tetes bening menuruni wajahnya yang tirus. Wanita itu menoleh sejenak. Berusaha mengalihkan pandangannya yang kosong ke wajah yang sangat ia cintai. Ada kesedihan yang meledak-ledak dalam dadanya. Sedikit lagi pertahanannya akan jebol. Matanya memerah. Ia menggigit bibirnya. Sisa tenaga ia kerahkan untuk tersenyum dan secepatnya ia menoleh kembali ke langit malam yang menggantungkan bulan. Memunggungi anak itu. Ia tak ingin terlihat rapuh, meski tak sempat menyembunyikan beberapa butir air mata.
“Nak, hak itu harus diperjuangkan. Kalaupun tak mendapatkannya, maka kita telah punya alasan untuk berdiri di depan pengadilan Tuhan, kelak.  Sekolahlah setinggi mungkin.  Agar kau dapat membagi kebahagiaan kepada yang lainnya. Begitu juga hak. Berikanlah pada yang berhak. Karena sekali kau menelan sesuatu yang bukan hakmu, maka api neraka telah bersarang di perutmu”. Wanita itu berpesan pada anaknya.
“Iya ibu, sekarang mari kita masuk. Tak baik mengadu badan ibu dengan angin malam”
“Kamu saja, biarkan ibu sejenak. ”
Dengan langkah  berat, anak itu meninggalkan beranda. Beranjak ke tempat tidurnya, setelah melingkarkan selimut merah yang telah pudar. Selimut peninggalan almarhum ayahnya.
***
Tuhan tak pernah tidur. Dia tahu makhluknya yang berbuat kemungkaran. Begitu juga Dia tak akan pernah salah dalam menghukum. Hanya butuh sedikit kesabaran untuk melihat hasil yang dituai dari buah kerja kita.
“Ibu, Uwa’ Butta’ sekarat! Penyakit jantungnya kumat. Ia membutuhkan kita. Ayo kita ke rumahnya!” anak itu berlari terengah-engah menghampiri ibunya yang sementara duduk memeluk foto almarhum suaminya. Ia berusaha membantu ibunya bangkit dari tempat duduknya.
“Tidak! Jangan kau sebut nama itu. Bukankah ia telah mengharamkan hubungan darah kita? Untuk apa kita kesana.”
“Tapi bu, kata pak Imam ibu perlu memaafkannya. Kalau Uwa’ meninggal, paling tidak……. kematiannya dimudahkan ”
“Hanif!!!!kau jangan mengajari ibu. Apa kau lupa dengan penghinaan tuan itu pada kita? Apa kau lupa tentang kematian ayahmu yang tak wajar? Apa kau lupa tanah yang telah dirampasnya dari kita? Tanah yang leluhurmu simpankan untuk masa depanmu!” Wanita itu menampik tangan anaknya. Wajahnya merah padam.
“Ibu, maafkanlah kesalahan Uwa’ Butta’!” anak itu memelas, meski dia tahu tak mudah merubah pendirian ibunya. Wanita itu bergeming. Lalu ditinggalkan sendirian. Anaknya berlari pergi ketika sirine ambulans meraung, melintas di depan rumahnya.
“Hahahhaaaa…lihatlah akibatnya. Tuhan akan membalas semua luka-lukaku! Lihatlah, wahai warga desa!” Teriak wanita itu sekeras lagu kematian yang dinyanyikan sirine ambulans. Mobil itu berlalu membawa tubuh ringkih yang sedang bertarung melawan malaikat maut.