Politikus dan kamera 360
Mengawali tulisan ini,
mari sejenak memberi ucapan selamat kepada anggota DPRD yang telah resmi
menduduki kursi jabatan, meski beberapa masih sementara kasak-kusuk dengan
laporan kecurangan dan lain sebagainya.
Ada hal menarik yang
patut menjadi perenungan kita bersama.
Jika kita flashback sebelum
pemilu Legislatif kemarin, begitu riuhnya perayaan pesta demokrasi itu. Betapa
tidak, para calon anggota Legislatif membuat banyak gebrakan dengan bersentuhan
langsung ke grass root (masyarakat).
Ada yang menggunakan jasa artis untuk mendulang suara, menabur seribu janji
lewat podium dan ribuan baligho, ada juga yang tampil apa adanya. Hal terakhir
dapat disebabkan karena ingin tampil secara alami dan ada juga karena alasan
dana kampanye yang minim. Tampilan di baligho dan televisi pun harus diedit
sedemikian rupa hingga betul-betul kelihatan gagah dan rupawan. Tak ayal jasa
edit gambar dan reklame kebanjiran orderan. sifat ingin tampil sempurna para
politikus ini tak ubahnya seperti aplikasi canggih yang sedang digandrungi masyarakat
sekarang ini yang disebut kamera 360. Lihat saja namanya, kamera ini mampu
mengubah hasil tangkapan obyek dari wajah yang kusem, kucel, hitam dan jelek
menjadi gambar yang gagah dan rupawan. Betul-betul dapat merubah 360 derajat
dari objek aslinya. Hal tersebut disebabkan karena tentu ingin tampil perfect di mata konstituen-nya.
Namun perfeksionisme
berlebihan memiliki dampak negative. Dalam dunia psikologi, perfeksionisme
berlebihan adalah gejala kelainan psikis yang diderita oleh seseorang. Dalam 16
Faktor Personal yg dijabarkan Raymond Cattell, Perfeksionis ditempatkan di
Level Tertinggi Gangguan Jiwa, yang dideskripsikan sebagai kondisi orang yg
"terorganisir, kompulsif, terlalu disiplin, memiliki hasrat berlebihan,
memiliki hasrat utk menguasai /mengontrol, dan terlalu sentimentil". Di
sisi lain, Abraham Maslow mengatakan bahwa sifat ingin dihargai dengan jalan
tampil sempurna adalah jalan menuju aktualisasi diri (self actualization) dan itu merupakan puncak dari hierarki
kebutuhan manusia.
Tak jauh beda dengan
pemilihan anggota Legislatif, pemilihan presiden yang akan dihelat sebentar
lagi telah terdengar gaungnya sejak beberapa waktu silam. Para kandidat silih
berganti “mempercantik citra” lewat berbagai media . Tiap beberapa detik kita
bisa saksikan calon Presiden dan wakilnya menyemai janji dan cerita kehebatan
program mereka di televisi. Bentuk programnya pun beragam; ada yang berupa
bantuan kredit petani dan pedagang, perbaikan infrastruktur, serta program
beasiswa pendidikan. Menanggapi hal itu, sebagian masyarakat awam berpendapat
bahwa hal itu merupakan artificial act
(tindakan kepura-puraan) yang sifatnya temporer atau sementara. Mereka justru
berharap bahwa program itu bukan sebuah kepura-puraan dan dapat bernafas
panjang (long lasting), tidak hanya
ada pada masa kampanye. Seorang teman menuliskan anekdot pada dinding facebook tentang tingkatan nilai mahasiswa
ketika kuliah dan implikasinya terhadap masa depan. Seorang mahasiswa dengan
nilai rata-rata A+ dapat diasumsikan akan menjadi seorang Profesor, Doktor
ataupun ilmuwan. Mahasiswa dengan nilai rata-rata A atau B+ diasumsikan akan
menjadi seorang guru sedangkan Range
nilai dari B sampai D diasumsikan akan menjadi pekerja atau buruh. Nilai F
diasumsikan akan menjadi CEO sebuah
perusahaan sedangkan mahasiswa yang mendapat nilai melalui kecurangan (cheat) disinyalir besar kemungkinan akan
menjadi seorang politikus.
Tentu saja anekdot
tersebut tidak sepenuhnya benar karena Negara ini dalam rentang sejarahnya
memiliki polikus andal sekaliber Seoekarno, Adam Malik, Alamsyah Prawiranegara,
M. Natsir, Sjahrir dan lain sebagainya yang notabene adalah orang-orang dengan
kecerdasan di atas rata-rata. Hal itu dibuktikan pula dengan rekam jejak karya
monumental mereka di tiap fase kehidupan masing-masing tokoh. Mario Teguh dalam
sebuah episode acara inspiratifnya pernah berpesan bahwa orang takkan pernah berhasil
berpura-pura dalam jangka waktu yang lama. Di lain waktu beliau
menuliskan di media Twitter bahwa perbuatan salah adalah biasa bagi manusia,
tapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permusuhan dan
pengkhianatan. Semoga Rakya Indonesia tak memberi ruang bagi pemimpin
yang penuh kepura-puraan dan bersembunyi dibalik topeng kamera 360. (awal Mei 2014)
Syahrir
Mahasiswa Pascasarjana ELS 2012 Universitas
Hasanuddin
Penerima Beasiswa Bakrie Graduate Fellowship (BGF)
Penggiat Forum Lingkar Pena Cabang Makassar
kereeen juga nih tapi, blm sempat baca semua ane copas ya mr. nanti ane baca... baca awalnya ajah ane dan tertarik... hahaha next
BalasHapusThanks a lot, Esty.
BalasHapusThanks a lot, Esty.
BalasHapus