Minggu, 17 November 2013

Cerpen: aku (bukan) lelaki miskin!


Aku (bukan) Lelaki Miskin!


Asap kendaraan mengepul. Hitam pekat, menyeruak dari pipa berongga di belakang ribuan kendaaan kota ini. Sejenak terhirup oleh manusia, lalu  menguap ke angkasa luas. Disini, dipelataran jantung kota Makassar, di antara jejal ruwet ribuan bangunan menjulang, aku duduk menekuri nasib. Kulepaskan pandangan pada riuhnya kota, namun tak kutemukan tenang di sana. Ku berdiri lalu menengadah. Mencoba memandangi langit biru yang kian berjelaga. Sejenak kututup mata, mencoba lari dari segala kegalauan hati yang semakin menyesakkan. Kupenuhi rongga dada dengan udara yang kini tak bersih lagi. Seketika berkelebat segala masalah yang mendera. Tentang penolakan lamaran pada gadis impian,tentang pekerjaan yang dapat memenuhi segala hajat hidup, tentang cita-cita menaikkan derajat keluarga, tentang misi melanjutkan studi, tentang segala cemoohan dunia yang ingin kubeli!  Ah…kawan, perkenalkan, aku ini adalah lelaki miskin. Meski tak menyukai julukan itu, tapi sepertinya aku harus belajar untuk menerima segala kepapaan yang melekat padaku.
Aku ingin pulang saja ke Buntu Barana. Aku rindu senyum ambe’ku yang selalu tergambar diwajahnya walau dunia begitu kejam memperlakukannya. Aku rindu dengan ketegaran indo’ku walau hanya tinggal gundukan tanah dengan batu bertulis namanya yang akan kujumpai. Ah, Buntu Barana. Ia menyimpan aura kerinduan yang melebihi segala tempat dimanapun di dunia ini. Kau pernah mendengar nama itu, kawan? Yah, mungkin tidak, karena desaku tak sepopuler kota Palopo. Padahal jaraknya tak begitu jauh dari sana.
Nak, hidup ini harus dijalani dengan segenap daya yang Tuhan berikan pada kita, bukan justru mengutuki keburukan nasib! Kau ini laki-laki. Tunjukkanlah bahwa kau mampu!” wajah indo’ku muncul dengan petuahnya. Kubuka mata lalu menghela napas panjang.
“Aku mungkin lelaki miskin, tapi hidup tak akan selamanya mempermainkanku dalam lingkaran itu. Aku akan berjuang melawannya!”  pekikku di tengah riuhnya desing suara kendaraan ibu kota. Kawan, aku tahu tidak akan ada manusia yang peduli dengan teriakanku itu, mungkin juga kamu. Tapi kuyakin Tuhan mendengarnya. Bukankah itu juga adalah do’a. Do’a dengan segala kepasrahan pada-Nya. Do’a dengan segala penyerahan masalah padanya. Aku sedang mentransfer masalah itu pada Tuhan. Pundakku terlalu lemah untuk mengangkatnya. Kau tahu kawan, itu adalah salah satu tips yang diajarkan oleh almarhumah indo’ kepadaku.
“Jika dunia menghimpitmu, nak, maka laporlah pada Tuhan. Bebanmu akan diringankan. Pundakmu pun akan diperkokoh-Nya” pesan ibuku di suatu sore saat menyiangi jagung yang kami tanam pada petak kebun milik Haji Hamide’, tuan tanah yang ingin kubeli segala ucapannya. Oh iya, aku belum menceritakan tentang kebusukan rentenir tua itu padamu, kawan. Ia tak seperti yang kamu bayangkan, bahkan lebih dari itu. Dia telah memiliki 98% dari lahan yang ada di desaku. Itu terjadi karena ia satu-satunya tempat meminjam uang waktu aku masih merah. Hampir semua warga di kampungku meminjam padanya. Hingga pada saat jatuh tempo, tanah warga direbutnya jika tak mampu mengembalikan pinjaman plus bunga-bunganya. Jangan kau kira bahwa bunga pinjaman itu seharum bunga mawarmu kawan, bahkan ia lebih menyakitkan dari luka yang disebabkan oleh duri bungamu itu. Si manusia sombong yang konon telah menjejakkan kaki di tanah haram itu bahkan takkan pernah rela kalau ada yang menyamainya dalam hal apapun, termasuk banyaknya harta. Kawan, kuberitahukan padamu bahwa aku memang agak sial. Asal kamu tahu, aku telah jatuh cinta pada Besse’, anak Haji Hamide’ itu. Lamaranku saban hari berakhir dengan makian.
besse' sblum jd artis
“Aku tak akan pernah sudi menerima laki-laki miskin ini menjadi menantuku! Kamu punya apa, hah! Berani kau rupanya. Kau tahu, Besse’ itu lulusan universitas termahal di Tana Jawa. Sedangkan kau! Kau cuma tamatan sekolah tinggi murahan di Palopo. Bawa saja pulang kelaminmu itu!” bentaknya waktu itu pada aku dan kedua orang tuaku.
Besse’ dan aku memang saling mencinta kawan. Bahkan selama di Jawa, tiap hari dia menelponku hanya untuk mendengarkan suaraku. Yah, inilah cinta. Andai aku dapat memilih, maka aku akan memilih untuk tidak jatuh cinta pada anak rentenir itu. Tapi perhatian dan ketulusannya memenjarakan hatiku untuk tak berpaling darinya.
Sikapnya membentang jarak antara jawa dan Sulawesi jika dibandingkan dengan watak orang tuanya. Pernah aku ke Makassar untuk menjemput Besse’ kala ia pulang kampung menjelang Ramadhan dan aku ketahuan sama orang tuanya. Kamu tahu, Aku dipukuli sampai babak belur oleh empat algojo piaraan Haji Hamide’. Bahkan bekas luka sejarah itu masih ada di sudut bibirku. Orang tuaku pun telah sering kali menasehati. Tapi kukatakan kepada mereka bahwa rasa itu tak bisa hilang. Wajahnya telah menempel pada pelupuk mataku. Aku tak pernah melihat wanita seanggun ia setelah ibu di dunia ini. Tiap kali kucoba melirik gadis lain, seketika ketulusan hatinya menghujam dadaku. Ia menjagaku dari kemunafikan dan penghianatan cinta. Jujur kawan, Besse’ telah membawa separuh nyawa yang Tuhan pinjamkan  padaku. Mungkin kau akan memberiku label lebay. Namun percayalah kawan, ini bukan sihir. Mungkin rasa inilah yang pernah
bersarang di dalam dada Laila hingga ia menjadi majnun saat ditinggal mati oleh kekasihnya. Kembali ku terdiam. Entah mengapa rasa pesimis melingkupiku. Aku rapuh.
“Kau ini lelaki miskin! Lelaki miskin! Sangat miskin! Miskiiiiiin! Miskiiin! Dasar miskiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!” Kalimat itu terngiang di telingaku berkali-kali. Sumpah serapah calon mertuaku itu seakan mengubur segala cita-citaku. Aku menjadi sangat lemah kalau perasaan itu datang lagi. Seolah bumi ingin menenggelamkan dalam segala ketakberdayaanku. Aku sepertinya trauma, kawan.  
Dalam kegalauan yang maha itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sebuah SMS. Ku terperangah. Tak percaya pada apa yang ku baca. Nafasku terhenti. Teringat ambe’, indo’ dan segala  mimpi-mimpi mereka. Teringat cita-citaku dan Besse’. Teringat segala cacian orang tuanya yang saban hari aku bersumpah akan membelinya. Bulir bening tertumpah dari sudut mata yang kubiarkan menuruni pipi tirusku. Emosiku tidak stabil. Haru dan bahagia berpadu di sana. Itu sms dari Ghifary Foundation, yayasan pemberi beasiswa ke luar negeri. Kawan, itu tempatku wawancara pagi tadi.
“Selamat kepada tuan Fadlan Syah. Anda lulus seleksi beasiswa Gemilang dan berhak uang sebesar 150 juta untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Tunggu info selanjutnya. Hormat kami, Ghifary Foundation.”

Ket:     Ambe’: panggilan bapak dalam bahasa Tae’ (Luwu)
Indo’  : panggilan ibu dalam bahasa Tae’ (Luwu)


Syahrir Al-Ghifary
Mahasiswa pascasarjana Program Studi English Language Studies (ELS)
Universitas Hasanuddin angkatan 2012
Anggota bidang kaderisasi FLP ranting Unhas.
Bisa dihubungi di:
FB: Syahrir Alghifary Neo
Twitter: Syah_Syahrir
Blog     : Syahriralghifary.blogspot.com
e-mail  : Syahriralghifary85@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar