Aku (bukan) Lelaki Miskin!
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_uwR0kl2GtlZzWNUrqbByRSGooW7e3mjF3qmdq8E6xAnX5Mir6z0y_vOQUXti6XKelF3Awe2vWUsF0IWvbgpbOc9WmjrCXyG_vYE96_xDxfM9S0FitbGGcw1I5cqBQjFazK_GXxRnEB2X/s200/12308_1212766887759_1961085_n.jpg)
Aku ingin pulang saja ke Buntu Barana. Aku
rindu senyum ambe’ku yang selalu
tergambar diwajahnya walau dunia begitu kejam memperlakukannya. Aku rindu
dengan ketegaran indo’ku walau hanya
tinggal gundukan tanah dengan batu bertulis namanya yang akan kujumpai. Ah,
Buntu Barana. Ia menyimpan aura kerinduan yang melebihi segala tempat dimanapun
di dunia ini. Kau pernah mendengar nama itu, kawan? Yah, mungkin tidak, karena
desaku tak sepopuler kota Palopo. Padahal jaraknya tak begitu jauh dari sana.
“Nak,
hidup ini harus dijalani dengan segenap daya yang Tuhan berikan pada kita,
bukan justru mengutuki keburukan nasib! Kau ini laki-laki. Tunjukkanlah bahwa
kau mampu!” wajah indo’ku muncul
dengan petuahnya. Kubuka mata lalu menghela napas panjang.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSf7DCHHU9D0Xjp5uROiRMVQuSqlaTrQI8ih2HbRJYOVinYbo4oYr-9VJYluIY7BDkkEBmc36EBdQ9VkTbUMHd0saxdrzERSDpaSU8TB3DmaRn3XeBsHsgmNSX-bTjsDyutUsYtDNnnjJJ/s200/sad3.jpg)
“Jika dunia menghimpitmu, nak, maka laporlah pada Tuhan. Bebanmu akan
diringankan. Pundakmu pun akan diperkokoh-Nya” pesan ibuku di suatu sore saat
menyiangi jagung yang kami tanam pada petak kebun milik Haji Hamide’, tuan
tanah yang ingin kubeli segala ucapannya. Oh iya, aku belum menceritakan
tentang kebusukan rentenir tua itu padamu, kawan. Ia tak seperti yang kamu
bayangkan, bahkan lebih dari itu. Dia telah memiliki 98% dari lahan yang ada di
desaku. Itu terjadi karena ia satu-satunya tempat meminjam uang waktu aku masih
merah. Hampir semua warga di kampungku meminjam padanya. Hingga pada saat jatuh
tempo, tanah warga direbutnya jika tak mampu mengembalikan pinjaman plus bunga-bunganya. Jangan kau kira
bahwa bunga pinjaman itu seharum bunga mawarmu kawan, bahkan ia lebih menyakitkan
dari luka yang disebabkan oleh duri bungamu itu. Si manusia sombong yang konon telah
menjejakkan kaki di tanah haram itu
bahkan takkan pernah rela kalau ada yang menyamainya dalam hal apapun, termasuk
banyaknya harta. Kawan, kuberitahukan padamu bahwa aku memang agak sial. Asal kamu
tahu, aku telah jatuh cinta pada Besse’,
anak Haji Hamide’ itu. Lamaranku saban hari berakhir dengan makian.
![]() |
besse' sblum jd artis |
Besse’ dan aku memang saling mencinta
kawan. Bahkan selama di Jawa, tiap hari dia menelponku hanya untuk mendengarkan
suaraku. Yah, inilah cinta. Andai aku dapat memilih, maka aku akan memilih
untuk tidak jatuh cinta pada anak rentenir itu. Tapi perhatian dan ketulusannya
memenjarakan hatiku untuk tak berpaling darinya.
Sikapnya membentang jarak
antara jawa dan Sulawesi jika dibandingkan dengan watak orang tuanya. Pernah aku
ke Makassar untuk menjemput Besse’ kala ia pulang kampung menjelang Ramadhan
dan aku ketahuan sama orang tuanya. Kamu tahu, Aku dipukuli sampai babak belur
oleh empat algojo piaraan Haji Hamide’. Bahkan bekas luka sejarah itu masih ada
di sudut bibirku. Orang tuaku pun telah sering kali menasehati. Tapi kukatakan
kepada mereka bahwa rasa itu tak bisa hilang. Wajahnya telah menempel pada
pelupuk mataku. Aku tak pernah melihat wanita seanggun ia setelah ibu di dunia
ini. Tiap kali kucoba melirik gadis lain, seketika ketulusan hatinya menghujam
dadaku. Ia menjagaku dari kemunafikan dan penghianatan cinta. Jujur kawan,
Besse’ telah membawa separuh nyawa yang Tuhan pinjamkan padaku. Mungkin kau akan memberiku label lebay. Namun percayalah kawan, ini bukan
sihir. Mungkin rasa inilah yang pernah
bersarang di dalam dada Laila hingga ia
menjadi majnun saat ditinggal mati
oleh kekasihnya. Kembali ku terdiam. Entah mengapa rasa pesimis melingkupiku. Aku
rapuh.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimpO0GTAmAD9UL5CcByxR2opMSz8djw_8uwKOzhWIIoBk5AnP4IMaItM5PdJ8dOTWJsnuMH37j3ZhEQixUJaENdaLi_4Osm5qeWeYf5X2ZBcoZ0CmR2jXTIsUtS2pBejvqasXgk1bSHALd/s200/sad2.jpg)
“Kau ini lelaki miskin! Lelaki miskin! Sangat
miskin! Miskiiiiiin! Miskiiin! Dasar miskiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!” Kalimat
itu terngiang di telingaku berkali-kali. Sumpah serapah calon mertuaku itu
seakan mengubur segala cita-citaku. Aku menjadi sangat lemah kalau perasaan itu
datang lagi. Seolah bumi ingin menenggelamkan dalam segala ketakberdayaanku. Aku
sepertinya trauma, kawan.
Dalam kegalauan yang maha itu, tiba-tiba
aku dikagetkan oleh sebuah SMS. Ku terperangah.
Tak percaya pada apa yang ku baca. Nafasku terhenti. Teringat ambe’, indo’ dan segala mimpi-mimpi
mereka. Teringat cita-citaku dan Besse’.
Teringat segala cacian orang tuanya yang saban hari aku bersumpah akan
membelinya. Bulir bening tertumpah dari sudut mata yang kubiarkan menuruni pipi
tirusku. Emosiku tidak stabil. Haru dan bahagia berpadu di sana. Itu sms dari Ghifary Foundation, yayasan
pemberi beasiswa ke luar negeri. Kawan, itu tempatku wawancara pagi tadi.
“Selamat
kepada tuan Fadlan Syah. Anda lulus seleksi beasiswa Gemilang dan berhak uang
sebesar 150 juta untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Tunggu info
selanjutnya. Hormat kami, Ghifary Foundation.”
Ket: Ambe’: panggilan bapak dalam bahasa Tae’ (Luwu)
Indo’
: panggilan ibu dalam bahasa
Tae’ (Luwu)
Mahasiswa pascasarjana Program Studi English
Language Studies (ELS)
Universitas Hasanuddin angkatan 2012
Anggota bidang kaderisasi FLP ranting Unhas.
Bisa dihubungi di:
FB: Syahrir
Alghifary Neo
Twitter: Syah_Syahrir
Blog
: Syahriralghifary.blogspot.com
e-mail :
Syahriralghifary85@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar