Aku (bukan)
Lelaki Miskin!
Asap kendaraan mengepul. Hitam pekat,
menyeruak dari pipa berongga di belakang ribuan kendaaan kota ini. Sejenak
terhirup oleh manusia, lalu menguap ke
angkasa luas. Disini, dipelataran jantung kota Makassar, di antara jejal ruwet
ribuan bangunan menjulang, aku duduk menekuri nasib. Kulepaskan pandangan pada
riuhnya kota, namun tak kutemukan tenang di sana. Ku berdiri lalu menengadah.
Mencoba memandangi langit biru yang kian berjelaga. Sejenak kututup mata,
mencoba lari dari segala kegalauan hati yang semakin menyesakkan. Kupenuhi rongga
dada dengan udara yang kini tak bersih lagi. Seketika berkelebat segala masalah
yang mendera. Tentang penolakan lamaran pada gadis impian,tentang pekerjaan
yang dapat memenuhi segala hajat hidup, tentang cita-cita menaikkan derajat
keluarga, tentang misi melanjutkan studi, tentang segala cemoohan dunia yang
ingin kubeli! Ah…kawan, perkenalkan, aku
ini adalah lelaki miskin. Meski tak menyukai julukan itu, tapi sepertinya aku
harus belajar untuk menerima segala kepapaan yang melekat padaku.
Aku ingin pulang saja ke Buntu Barana. Aku
rindu senyum ambe’ku yang selalu
tergambar diwajahnya walau dunia begitu kejam memperlakukannya. Aku rindu
dengan ketegaran indo’ku walau hanya
tinggal gundukan tanah dengan batu bertulis namanya yang akan kujumpai. Ah,
Buntu Barana. Ia menyimpan aura kerinduan yang melebihi segala tempat dimanapun
di dunia ini. Kau pernah mendengar nama itu, kawan? Yah, mungkin tidak, karena
desaku tak sepopuler kota Palopo. Padahal jaraknya tak begitu jauh dari sana.
“Nak,
hidup ini harus dijalani dengan segenap daya yang Tuhan berikan pada kita,
bukan justru mengutuki keburukan nasib! Kau ini laki-laki. Tunjukkanlah bahwa
kau mampu!” wajah indo’ku muncul
dengan petuahnya. Kubuka mata lalu menghela napas panjang.
“Aku mungkin lelaki miskin, tapi hidup
tak akan selamanya mempermainkanku dalam lingkaran itu. Aku akan berjuang melawannya!” pekikku di tengah riuhnya desing suara
kendaraan ibu kota. Kawan, aku tahu tidak akan ada manusia yang peduli dengan
teriakanku itu, mungkin juga kamu. Tapi kuyakin Tuhan mendengarnya. Bukankah itu
juga adalah do’a. Do’a dengan segala kepasrahan pada-Nya. Do’a dengan segala
penyerahan masalah padanya. Aku sedang mentransfer masalah itu pada Tuhan. Pundakku
terlalu lemah untuk mengangkatnya. Kau tahu kawan, itu adalah salah satu tips
yang diajarkan oleh almarhumah indo’
kepadaku.
“Jika dunia menghimpitmu, nak, maka laporlah pada Tuhan. Bebanmu akan
diringankan. Pundakmu pun akan diperkokoh-Nya” pesan ibuku di suatu sore saat
menyiangi jagung yang kami tanam pada petak kebun milik Haji Hamide’, tuan
tanah yang ingin kubeli segala ucapannya. Oh iya, aku belum menceritakan
tentang kebusukan rentenir tua itu padamu, kawan. Ia tak seperti yang kamu
bayangkan, bahkan lebih dari itu. Dia telah memiliki 98% dari lahan yang ada di
desaku. Itu terjadi karena ia satu-satunya tempat meminjam uang waktu aku masih
merah. Hampir semua warga di kampungku meminjam padanya. Hingga pada saat jatuh
tempo, tanah warga direbutnya jika tak mampu mengembalikan pinjaman plus bunga-bunganya. Jangan kau kira
bahwa bunga pinjaman itu seharum bunga mawarmu kawan, bahkan ia lebih menyakitkan
dari luka yang disebabkan oleh duri bungamu itu. Si manusia sombong yang konon telah
menjejakkan kaki di tanah haram itu
bahkan takkan pernah rela kalau ada yang menyamainya dalam hal apapun, termasuk
banyaknya harta. Kawan, kuberitahukan padamu bahwa aku memang agak sial. Asal kamu
tahu, aku telah jatuh cinta pada Besse’,
anak Haji Hamide’ itu. Lamaranku saban hari berakhir dengan makian.
|
besse' sblum jd artis |
“Aku tak akan pernah sudi menerima
laki-laki miskin ini menjadi menantuku! Kamu punya apa, hah! Berani kau
rupanya. Kau tahu, Besse’ itu lulusan universitas termahal di Tana Jawa. Sedangkan
kau! Kau cuma tamatan sekolah tinggi murahan di Palopo. Bawa saja pulang
kelaminmu itu!” bentaknya waktu itu pada aku dan kedua orang tuaku.
Besse’ dan aku memang saling mencinta
kawan. Bahkan selama di Jawa, tiap hari dia menelponku hanya untuk mendengarkan
suaraku. Yah, inilah cinta. Andai aku dapat memilih, maka aku akan memilih
untuk tidak jatuh cinta pada anak rentenir itu. Tapi perhatian dan ketulusannya
memenjarakan hatiku untuk tak berpaling darinya.
Sikapnya membentang jarak
antara jawa dan Sulawesi jika dibandingkan dengan watak orang tuanya. Pernah aku
ke Makassar untuk menjemput Besse’ kala ia pulang kampung menjelang Ramadhan
dan aku ketahuan sama orang tuanya. Kamu tahu, Aku dipukuli sampai babak belur
oleh empat algojo piaraan Haji Hamide’. Bahkan bekas luka sejarah itu masih ada
di sudut bibirku. Orang tuaku pun telah sering kali menasehati. Tapi kukatakan
kepada mereka bahwa rasa itu tak bisa hilang. Wajahnya telah menempel pada
pelupuk mataku. Aku tak pernah melihat wanita seanggun ia setelah ibu di dunia
ini. Tiap kali kucoba melirik gadis lain, seketika ketulusan hatinya menghujam
dadaku. Ia menjagaku dari kemunafikan dan penghianatan cinta. Jujur kawan,
Besse’ telah membawa separuh nyawa yang Tuhan pinjamkan padaku. Mungkin kau akan memberiku label lebay. Namun percayalah kawan, ini bukan
sihir. Mungkin rasa inilah yang pernah
bersarang di dalam dada Laila hingga ia
menjadi majnun saat ditinggal mati
oleh kekasihnya. Kembali ku terdiam. Entah mengapa rasa pesimis melingkupiku. Aku
rapuh.
“Kau ini lelaki miskin! Lelaki miskin! Sangat
miskin! Miskiiiiiin! Miskiiin! Dasar miskiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin!” Kalimat
itu terngiang di telingaku berkali-kali. Sumpah serapah calon mertuaku itu
seakan mengubur segala cita-citaku. Aku menjadi sangat lemah kalau perasaan itu
datang lagi. Seolah bumi ingin menenggelamkan dalam segala ketakberdayaanku. Aku
sepertinya trauma, kawan.
Dalam kegalauan yang maha itu, tiba-tiba
aku dikagetkan oleh sebuah SMS. Ku terperangah.
Tak percaya pada apa yang ku baca. Nafasku terhenti. Teringat ambe’, indo’ dan segala mimpi-mimpi
mereka. Teringat cita-citaku dan Besse’.
Teringat segala cacian orang tuanya yang saban hari aku bersumpah akan
membelinya. Bulir bening tertumpah dari sudut mata yang kubiarkan menuruni pipi
tirusku. Emosiku tidak stabil. Haru dan bahagia berpadu di sana. Itu sms dari Ghifary Foundation, yayasan
pemberi beasiswa ke luar negeri. Kawan, itu tempatku wawancara pagi tadi.
“Selamat
kepada tuan Fadlan Syah. Anda lulus seleksi beasiswa Gemilang dan berhak uang
sebesar 150 juta untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Tunggu info
selanjutnya. Hormat kami, Ghifary Foundation.”
Ket: Ambe’: panggilan bapak dalam bahasa Tae’ (Luwu)
Indo’
: panggilan ibu dalam bahasa
Tae’ (Luwu)
Syahrir Al-Ghifary
Mahasiswa pascasarjana Program Studi English
Language Studies (ELS)
Universitas Hasanuddin angkatan 2012
Anggota bidang kaderisasi FLP ranting Unhas.
Bisa dihubungi di:
FB: Syahrir
Alghifary Neo
Twitter: Syah_Syahrir
Blog
: Syahriralghifary.blogspot.com
e-mail :
Syahriralghifary85@gmail.com