WE ARE ON MISSION!
“Mau apa kalian! Jangan kurang ajar! Saya laporkan ke
kepala sekolah biar kalian dipenjara!” teriakku berontak sembari melayangkan
tamparan keras ke muka mereka. Namun mereka, teman gankku yang kupercaya, yang
selalu ku elu-elukan, tempatku berbagi cerita, hari ini kalap. Pengaruh minuman
biadab bergambar kepala dengan topi hitam yang dipakai agak miring. Semakin ku
teriak semakin jalang pandangan mata mereka, semakin berani meraba diriku.
“kita kan sudah lama berteman, kita ini masih muda, nikmatilah masa muda ini,”
rayu pria tengik bernama Dodi. “lagian disini nggak ada siapa-siapa, hanya kita
berempat.” Tambah Bobi dengan wajah memerah.
Matanya yang bulat kini berubah menjadi sayup,
seperti dirasuki setan penunggu Gunung Sampoddo yang saban hari mengganggu
pengguna jalan yang melintas di area itu. “kau jangan munafiklah Andina, belum
tentu juga masih perawan, kan?” serta-merta kulayangkan tendangan mautku. Daerah
vital Reza kutuju. “kurang ajar kau!” Reza tumbang. Bobi dan Dodi semakin
marah. Bobi memegang kedua tanganku. Menelikungku dari belakang. Dodi mendekat,
semakin mendekat. Kulihat Reza pun demikian. Wajah mereka berubah garang.
Mereka memegang pundakku, menarik rambutku. merobek seragamku. Aku berontak
namun tak berdaya. Segala tenaga kukerahkan. Dan…..
“Tidaaaaakkkkkk!!!”
nafasku tersengal-sengal. Keringat mengucur, membasahi gaun tidurku. Hawa panas
membungkus diriku. Kupandangi tempat ini. Jam dindingku menunjuk angka 4.
Pandanganku mengedar, menelisik jauh ke luar jendela. Halamanku masih gelap.
“akhh, ternyata cuma mimpi. Sialan mereka! Coba saja
kalau berani, kuhabisi mereka” gerutuku sembari bangkit dan berjalan menuju kamar
mandi. Nafasku masih saling mengejar. Kuteguk sebotol air mineral. Sedikit
membantu.
Sebelum kembali
ke kamar, kulihat temaram cahaya lampu dari musholah kecil rumahku. Kudekati
pelan. Kudapati ummi_ku dalam sujud panjangnya. Kuamati diam-diam. Hatiku
miris. Betapa tidak, Ummi dan Abi_ku
adalah pejuang dakwah. Sejak kuliah mereka telah berjibaku menyebar sinar
Islam. Dan mereka pun dipertemukan dalam ranah itu. Romantis memang. Namun
ironisnya sinar itu tak kunjung menyapaku. Abiku sementara bertaruh nyawa di
Palestina bersama Bulan Sabit Merahnya. Sedang aku, putri bungsunya bermoral
setan. Solat masih sering kuabaikan, tawaran ikut ngaji kutampik dengan seribu alasan, memakai jilbab aku tak tahan
hawa panasnya, bolos bersama gank Rascal-ku menjadi hobbi utamaku selain ngeceng
di OPSAL Plasa menghabiskan limit di
kartu kreditku.
“Ah, nantilah
kalau sudah dapat hidayah” bathinku sembari menarik selimut tebal bermotif AC
Milan kesayanganku setelah kembali merebahkan tubuh di kasur empukku. Subuh
kulupakan. Kupejamkan mata, tentu saja kutolak sambungan mimpi pelecehan tadi.
Pikiranku melayang-layang. Dan tiba-tiba kulihat diriku sementara memborong
sepatu kets berjudul Converse di
sebuah toko yang dipenuhi poster bertuliskan
“Discount up-to 70%”.
“Andina, bangun
nak! Sudah pagi! Solatlah dulu” sapa ummiku dengan indah.
Ternyata dia telah bolak-balik membangunkanku sejak tadi. Dari segala arah
ia menggangguku. Membangunkanku dari kutukan setan yang telah bergelantung erat
di pelupuk mataku. Menjelaga, menggelapkan pandanganku. Malas melingkupiku.
“Kasurku lebih indah dari tempat manapun”, pikirku.
“akhh, ummi berisik ahhh! Iyahhh nanti saja
solatnya!!” keluhku dengan nada tinggi sambil menampik tangan ummi yang
menempel basah di mataku.
Ummiku menyerah, kudengar ucapan lirih istighfar
dibibirnya sembari beranjak pergi. Mungkin meratapi nasibnya yang memiliki anak
bebal sepertiku. Bisa saja ia mengutukiku, namun kuyakin ia takkan pernah tega.
Aku terlalu indah di matanya. Ritual pagi sejak ku masuk SMA. Berarti sudah
hampir setahun. Pernah Ummi dan Abi_ku mencoba nasehat ustadz di TV untuk memukulku jika tak sholat. Kakiku
memar kena rotan. Namun selama seminggu Ummi-ku menangis jika menatapku.
Penyesalan yang dalam jelas terlihat di wajahnya.
“ini demi kebaikan dia, belum seberapa jika dibanding
siksa neraka kelak bagi orang yang mempermainkan sholat” hibur Abi_ku. Sejak saat itu aku tak terlalu dekat
dengan mereka. Bukan benci , tapi seperti ada keengganan mengakrabi mereka
lagi. Trauma mungkin.
Aku tahu mereka melakukannya karena ingin melihatku
tumbuh menjadi pribadi yang sholehah seperti kedua kakakku, Mumtaz dan
Mujahidah. Tapi, aku tidak suka jika dibanding-bandingkan dengan mereka.
Akhlaknyalah, prestasinyalah, inilah, itulah. Membuatku muak. Untunglah mereka lagi hijrah ke Bandung untuk
studi. Jadi gema itu tak lagi nyaring di telingaku.
Hari ini kudengar Abi_ku akan pulang. Misinya di
Palestina belumlah usai. Mungkin ia datang menggalang dana untuk kesekian
kalinya. Ummi akan ke Makasar menjemput belahan hatinya itu, selain memang ada
acara ngaji bernama Tabligh Akbar.
Namun itu tak penting. Bagiku hari ini latihan band bersama geng Rascal lebih penting. Ulangan kimia besutan Bu
Naila tak kuhiraukan. Bolos lagi. Itulah rencananya. Sore nanti main Flying Fox dan Air Soft Gun di Pantai Labombo. Malamnya dinner di Jalan Lingkar,
lesehan panjang di bibir pantai kotaku. setelah itu yasinan, istilahku menyebut acara olah vocal di D’Color Family
Karaoke. tentu saja masih bersama genk tengik Rascal. Itulah hiburanku di kota
kecil bernama Palopo ini. Sungguh sebuah rencana yang matang. “Hari ini pasti
menyenangkan.” Pikirku sambil melonjak kegirangan.
Jingga melingkupi langit, magrib menyapa kotaku. Usai
dinner bersama geng Rascal, dengan motor Mio ku antar ummi ke perwakilan Bus
Bintang Prima. Jilbab merah marunnya menjuntai, berkibar –kibar diterpa angin.
Terlalu besar dan ribet kupikir. Meski dengan malasku, namun kupikir dengan
perginya ummi berarti seluruh rencanaku akan berjalan lancar. Kutancap gas, ku
terobos jalan Haji Hasan, tembus ke lorong sempit. Digerbangnya kulihat ada
baligo bertuliskan Kawasan Haidir Basir,
salah satu calon walikota. Tiba di depan perwakilan, kulihat bus-bus besar
dengan corak warna-warni telah berderu dengan mesin-mesin superpower_nya. Sebelum berangkat, ummi bertitah padaku.
“Nak, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa sholat ya
Din! Pasti ibu akan sangat senang pula jika suatu saat kamu berada dalam
barisan dakwah ini.” Nasehat ummi bijak. Aku agak risih dinasehati di
keramaian. Cukup dirumah kupikir. “Seperti pesan terakhir saja” gerutuku dalam
hati.
“Kita tak hadir begitu saja tanpa alasan ke dunia
ini. Setiap diri mengemban misi suci. Kembangkan Islam nak. Taburlah kebaikan
maka engkau akan menuai hasilnya.” Ujar ummi meninggi ditengah gemuruh riuh
penumpang yang berseliweran. Tentu saja aku anggap angin lalu.
“we are on mission! Ingat itu Andinaku!
Ummi pamit nak, Allau Akbar!” Pekik ummi sembari berlalu menaiki bus bermotif
pemain sepak bola itu. Agak aneh memang ummi kali ini, namun kutanggapi sepi.
Rencanaku masih harus berlanjut. D’ Color menungguku.
Dentuman musik bertalu-talu, memekakkan telinga.
Dinding room 201 bergetar. Lampu
disko aneka warna memayungi kami. Seperti hujan pelangi di sekeliling ruangan.
Sesekali menghambur menyilaukan mata . Namun tentu saja kami menikmatinya. Jus
alpukat kesukaanku kuseruput sambil terkekeh melihat Bobi dan Dodi bertingkah
aneh dalam duet maut menyanyikan lagu gadis
atau janda milik sepuh dangdut, Mansur S. featuring Elvy Sukaesih. Reza terkulai lemas di sofa setelah
menyanyikan Jetlag_nya Simple Plan
dan tiga lagu milik Paramore, band kesukaannya. Malam semakin larut. Setelah
dua jam yang melelahkan, kenduri Rascal di D’Color bubar dan masing-masing
semburat ke peraduannya. Dalam perjalanan pulang, kupandangi sesekali bulan
yang sedang menggantung temaram. Awan hitam semakin menutupinya. Terngiang kembali
pesan ummi tadi, namun beberapa saat kemudian menguap, terbang bersama angin
malam yang dingin.
Embun pagi menari indah di dedaunan hijau. Angin
sesekali menyapa, menggiring mereka terbang kian kemari. Gelap telah tergulung,
berganti cerahnya mentari. Cahayanya masuk melalui celah-celah jendela kamar,
menyorot wajahku. Seakan bermaksud membangunkanku. Hari ini hari minggu, jadi
aku bebas beristirahat pagi ini karena sore aku latihan Tae Kwon Do di sekolah.
Ekskul yang sangat kugandrungi saat ini. Mungkin karena sejak kecil aku sangat
suka film action. Terutama jika aktornya Jackie Chan. Itulah alasannya mengapa
kamarku dipenuhi posternya yang berukuran besar dengan pose yang sangat macho menurutku.
“Dina, ntar malam kita clubbing yuk! Marcopolo….! Mumpung lagi promo neh. Eh, ada Ello and
Astrid dari Jakarta juga!” seloroh Dodi dari kampung seberang.
“Wah, gila lho Di! Kalo sampe orang-orang tahu kalo
emak gue pendakwah gimana? Orang se Marcopolo bisa mentertawai gue dan ortu
gue” jawabku dengan ketus. Biar bagaimana reputasi kedua orangtuaku harus ku
jaga. Meski tak seindah yang mereka inginkan. Lagian seumur-umur aku belum
pernah clubbing. Haram dan sangat
berbahaya ummi bilang.
“Dicoba dulu lah Dinaaa….Siapa tau kamu ketagihan
seperti ritual yasinan kita, ya
nggak!” goda Dodi bertubi-tubi. Memang gang Rascal-lah yang pertama kali
mengajakku karaoke-an. Awalnya ku menolak. Namun ajakan ke sekian kalinya aku
tak mampu menolak. Terlebih yang mengajakku adalah warga Rascal yang sangat
kubanggakan.
“Hmm gimana yah, ummi kan ga ada di rumah. Saya takut
akhhh. Parno aku ke tempat kek
gituan! Pungkasku menolak ajakan Dodi.
“Ayolah Din!” tiba-tiba suara Bobi dan Reza muncul
bersahutan. Ternyata mereka tersambung juga dengan line kami. “kita akan jagain kamu kok!” tambah Reza.
“Ciyuz, miapah??? Hahaha!” Ledekku dengan gaya alay.
“Mi apa ajalah, mi goyeng juga bisa! Okehhh??” goda
Dodi yang diamini Bobi.
“Ok, tapi janji, cuman sebentar aja!!” tawarku agak
ragu.
“Ok deh Rascalian!
Cucok bangettt!” jawab mereka serempak ala banci kampung.
Mobil Reza melaju kencang, menerabas malam yang
semakin larut. Jam ku menunjukkan pukul 11.00. Waktu tidurku biasanya. Apa
boleh buat, demi pengalaman seru bersama Rascalian.
Di depan Marcopolo ku berdiri. Sejenak ku mematung memandangi pantai Labombo
yang gaduh oleh permainan ombak. Memang tempat itu adalah tempat wisata. Namun
bila malam tiba, Night club yang berjejer rapi di depan gerbang masuk
pantai menawarkan “wisata” yang lain. Clubbing!
Hatiku bergetar. Lamat-lamat musik on the floor mengalun keluar. Seakan
menjemput kami. Kuseret kakiku yang sepertinya berat untuk melangkah. Rascalian meyakinkanku. Kamipun
menjejakkan kaki. Ketika pintu dibuka
Dodi, hawa kemaksiatan menyeruak. Menampar-nampar hidungku. Hawa aneh itu
bertambah semarak dengan sebuah pemandangan menakjubkan. Lautan manusia
tumpah-ruah di lantai dance. DJ_nya mengguncang-guncang sebuah piringan
hitam di depannya. Volume suara pun dibuat berfluktuasi. Mempermainkan emosi
pengunjung. Sebuah lampu sebesar dua kali ukuran bola basket menggantung indah
di langit-langit. Sinar laser pelangi itu menyirami ruangan . Di sana-sini
kulihat botol-botol minuman dengan merek yang
tentu saja asing bagiku. Di gawangi tiga pria dengan kostum mirip Dewa Judi,
mereka memainkan sejenis botol dengan mengguncang dan melemparkannya
kesana-kemari secara akrobatik. Sangat mengagumkan. “inikah night club itu?” tanyaku membathin.
Belum sejam aku menikmati suasana diskotik itu,
tiba-tiba HP ku berdering. Kucoba menepi dari keriuhan. Nama kakakku tertera
disana. Kak Mumtaz.
“Halo kak?” jawabku
“Kamu dimana dek! Ummi,,,,abii….”selorohnya sambil
terisak. Kali ini aku kaget. Dadaku berdegup kencang. Perasaanku tidak nyaman.
“Kenapa ummi dan abi, kak? Ada apa?!!! Mereka
baik-baik saja, kan??!!” tanyaku memaksa.
“Ummi……ummiii…..um..ummi dan abi kecelakaan, dek!”
jawabnya disertai isakan tangis pilu.
“Apa!?? Dimana!?? Bagaimana keadaannya!?” introgasiku
berusaha tegar. Dadaku bergemuruh.
“Di sekitar daerah Pangkep! Om Anshar menelfonku
karena nomormu sibuk. Mereka sudah dibawa menuju ke Palopo. Kamu yang sabar ya
dek!! Kakak berdua akan pulang malam ini juga!” hiburnya. Aku mematung, nafasku
sesak, pandanganku gelap. Aku rebah. Sayup-sayup terngiang pesan ummi, ditengah
kegelapan kulihat cahaya. Ummi dan abi_ku sedang tersenyum.
Pagi ini aku dibangunkan oleh suara gaduh. Segera
kutinggalkan kamar dan meloncat ke ruang tamu. Seluruh orang memandangiku. Aku
juga membalas memandangi mereka. Hatiku bertanya-tanya. “Apa yang terjadi sebenarnya?”
bathinku bertanya. Kuedarkan pandangan. Dan kudapati dua sosok terbujur kaku
terbungkus kain putih. Hidung mereka disumbat dengan kapas putih yang mulai
memerah. jantungku berdebar kencang, tulangku remuk, sendiku ngilu, wajahku
kehabisan darah, keringat dingin mengucur deras. Nafasku sesak. Kak Mumtaz dan
kak Mujahidah menjemputku dengan pelukan erat. Isak tangis keluargaku
bergemuruh. Tiba-tiba gelap, yang kulihat hanya gelap.
###
Gundukan tanah itu masih basah oleh siraman air hujan selama dua hari
ini. Kilat menyambar –nyambar. Langit
muram dengan awan hitam yang menggantung. Mentari sembunyi tak menampakkan
diri. Seakan mereka merasakan kesedihanku. Menambah pilu suasana hatiku. Kak
mumtaz dan kak Mujahidah memayungiku. Ku genggam erat tanah basah itu, hatiku
berkecamuk tidak bisa menerima kenyataan ini. Mereka, Abi dan Ummi_ku telah
tiada. Teringat segala pembangkanganku selama ini, teringat semua nasehat
mereka yang kuabaikan, teringat kedurhakaanku, dosaku.
“Abiiiiiii……. Ummiiiiii……. Maafkan akuu….!! Maaafkan akuuuuu….”teriakku
sekencang-kencangnya. Emosiku meluap. Air mataku mengalir deras. Penyesalan
mendalam menusuk-nusuk ulu hatiku.Dadaku kembali sesak, asmaku kambuh lagi,
pandanganku memudar, berganti menjadi gulita. Aku tumbang. Masih kudengar tangisan
kak Mumtaz dan kak Mujahidah berusaha meraihku.
Ku terbangun mendengar azan magrib. Aku berada di kamarku. Rumahku masih
ramai dengan suara mengaji. Air mataku kembali menetes, menuruni lereng-lereng
pipi tirusku. Kuraih foto ummi dan abi yang terpampang di mejaku. Kulihat pula
tas terakhir yang dipakai ummi. Kupeluk erat-erat, kembali penyesalan mendalam
menghujam di dadaku. Air mataku kubiarkan jatuh. Foto Ummi dan Abi basah oleh
genangan air mataku.
Kucoba untuk tegar. Kuusap air mataku. Ku atur nafasku berulang-kali.
Kupegangi dadaku yang semakin gemuruh. Haru biru melingkupiku.
“Astaghfirullah al adziim..! astaghfirullah al adziim…! astaghfirullah al
adziim…! Laa hawla walaa quwwata ilaa billah…!” ucapku lirih menguatkan
bathinku yang rapuh. Kupandangi kembali tas ummi. Didalamnya kulihat buku
catatannya. Kubuka lembar demi lembar. Isinya catatan ngaji serta rencana hariannya. Hingga aku terpaku pada lembar terakhir yang beliau tulis.
“ Ya Robb, aku
sedang memikirkan posisiku kelak di akhirat.
Mungkinkah aku berdampingan dengan
penghulu para wanita Khodijah al-Kubro yang berjuang dengan harta dan jiwanya?
Atau dengan Hafsah binti Umar yang
di bela oleh Allah saat akan dicerai karena showwamah (rajin puasa)
dan qowwamahnya (rajin tahajud) ?
Atau dengan Aisyah yang telah hafal 3500
an hadits, sedang aku....ehm 100 juga belum...
Atau dengan Ummu Sulaim yang shobiroh (penyabar)
Atau dengan Asma yang mengurus kendaraan
suaminya dan mencela putranya saat istirahat dari jihad...
Atau dengan siapa ya... Ya Allah, tolong
beri kekuatan untuk mengejar amaliah
mereka...sehingga aku layak bertemu mereka bahkan bisa berbincang dengan mereka
di taman firdausMu."
Aku khawatir yaa Rabb, ketaatanku pada-mu,
pengabdianku pada orang tuaku, pelayananku pada suamiku, didikan pada
anak-anakku dan tuturanku kepada sesama belum dapat menjadi mahar bau harumnya
syurga-Mu. Aku takut dengan nerakamu yaa Mujiib, yaa Ghofuur, yaa Syakuur. Beri
petunjuk kepada kami yaa Allah, kepada Putriku Andi Andina Al-humairah, terangi
jalannya, limpahkan kasih-Mu kepadanya, hujamkan hidayah islam di hatinya
hingga dia menjadi martir untuk kejayaan Islam_MU yaa Qohhar.
Ampuni kekhilafan dan kelemahan hamba yaa
Rabb….sungguh tiada daya dan upaya kami melainkan atas izinmu.”
Pondok Madinah, 30 November 2012
(mengenang perjuangan almh. Ustazah Yoyoh
Yusroh)
MOVING CLASS TO TORAJA, BRITON PALOPO 2012
prasyarat PUNCAK TOWR FLP IV RANTING UNHAS. Malino, 1-2 desember 2012. semoga menjadi awal yang baik. GORESKAN PENA, TAJAMKAN DAKWAH! tidak ada kata berhenti di tempat ini. coz we are on mission!
BalasHapuswetz.. muantap......
BalasHapusbisa memvisualisasikan dgn kata2..
tentang klub malam dan kawan-kawannya, dan juga tentang sisi lain kota kecil tempat kelahiranku yang akhir-akhir ini semakin tidak kukenali... semoga kota kecilku senantiasa terjaga dari aktivitas2 yang tidak berguna... rindu kota kecilku....
hehehehhe... segeralah pulang nak!!!
BalasHapushe..he....
BalasHapusiya kek wkwkkwkw
Labombo, ironi di Kota Religi...
BalasHapusZul: apajeee!
BalasHapus