FESTIVAL MA’BALENDO
Mark : I’d like to visit ur home town
Pudding : ohh yeah? When??
Mark : Next
month, also to celebrate new year’s eve in Toraja. I got info there will be
Lovely December in Toraja, right?
Pudding : yeah!
Drop in, then. There’s going to be a Festival Ma’balendo, a harvest time
celebration in Buntu Barana, my village.
Mark : Sounds
great! Oh, I can’t wait any longer for that moment. Lucy and my Parents are
going to join, too. Ok, bye!
Pudding : bye…!
Laptop kumatikan. Chat singkat tadi membuatku semangat,
sekaligus membuatku khawatir. Kubaringkan tubuh lelahku. Kutarik nafas
dalam-dalam. Kupejamkan mata. Pikiranku menerawang. Segumpal pertanyaan
menggunung di kepalaku. Bagaimana kalau festival Ma’Balendo tidak jadi dihelat?
Bagaimana kalau Pak desa dan masyarakat tidak mau mengadakan? Bagaimana
kalau…..
“Akhhhh………!”
teriakku geram. Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Ini adalah perjuanganku. Juga
kesempatan untuk memperkenalkan kepada sahabat mayaku dari Inggris, Mark dan
keluarganya. Inilah budaya daerahku, Tana Luwu. Biar mereka mengetahui, betapa
kayanya negeri ini dengan budaya leluhur. Kupandangi potret di dinding kamarku.
Kulihat kembali moment berharga itu. Moment pencapaian prestasi yang luar biasa
dalam hidupku, Duta Budaya kampus. Memang masa itu telah usai, setahun yang
lalu. Namun euphoria kemenangan itu
masih sangat deras kurasakan.
“Pasti bisa!” Pekikku sembari
mengepalkan tinju. Ini adalah moment yang sangat aku tunggu-tunggu. Misi
menghidupkan kembali budaya leluhurku, Festival Ma’balendo, harus kulakukan.
Masih segar dalam ingatanku kala aku kecil. Festival itu dihelat tiap usai
panen padi. Atau paling tidak setahun sekali. Ucapan rasa syukur kepada Tuhan.
Itulah alasan yang kuingat. Aku seperti terlempar jauh ke masa kecilku. Kembali
kupejamkan mata. Bayangan hitam berubah menjadi gambaran visual yang semarak.
Masyarakat tumpah-ruah. Silaturrahmi erat tercipta di sana. Aneka makanan
tradisional tersaji. Warna-warni bendera melambai di lapangan. Tarian
Ma’balendo diperagakan dengan lincah oleh tiap tim peserta. Suara tumbukan alu
dan lesung membahana dalam harmonisasi indah. Pakaian yang unik. Tawa bahagia
yang menggelegar. Doa panjang yang dipanjatkan. Seperti ingin berlama-lama di
sana. Namun segala kekhawatiran itu muncul kembali. Tanyaku kembali muncul.
Mengapa sejak 10 tahun ini gaung festival itu tak lagi bergema? Semua seakan
melupakannya. Mungkinkah karena hasil panen padi yang tidak semelimpah dulu.
Mungkinkah karena hama penggerek batang yang melanda perkebunan kakao kami,
sehingga festival itu dilupakan? Mungkinkah karena pisang dan sayur-sayuran
meranggas oleh hama?
“Bisa! Bisa! Bisa!” teriakku dalam
kamar. Segera kuraih jaket hitam. Kurogoh sakunya. kutemukan kunci motorku.
Desing motorku menjerit kencang. Akupun melaju. Sempat kulihat ibuku yang
sedang menyirami bunga anyelir dan kembang doa kesayangannya di halaman
rumahku.
“Pak Desa!” batinku memulai strategi. Sebutan itu untuk kepala desa kami. Kupikir dia adalah
kunci sukses tidaknya acara ini nantinya.
“Assalamu alaikum,
ada Bapak?” Tanyaku menyapa Salwa, kembang desa kami. Dia adalah anak semata
wayang Pak Desa Mirdan. Daun meniran yang sementara dipetiknya segera
diselesaikan. Senyum manisnya mengembang. Ia bergegas menghampiriku.
“Wa’alaikum
salam Kak Pudding, Bapak ada di dalam. Lagi sakit!” katanya sembari
mempersilahkanku masuk ke rumahnya. Aku kaget mendengarnya. Kulihat ada raut
kesedihan di wajahnya. Mungkin karena di dunia ini hanya ayahnyalah tempat
bersandarnya. Setahun lalu ibunya meninggal. Stroke. Itu kata dokter. Tapi menurut Puang Makare’, dukun sakti
kampung kami, itu bukan penyakit biasa.
“hmm….ada unsur
magis di dalamnya” katanya. Waktu itu Salwa tidak peduli celotehan beliau.
Ibunya segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Belopa. Hingga akhirnya harus dirujuk
ke Rumah Sakit Wahidin, Kota Makassar. Namun belum sampai di sana, ibunya telah
meregang nyawa. Jadilah ia gadis piatu yang malang dengan seorang ayah yang
sangat disayanginya.
“Bagaimana keadaannya, Pak?” Tanyaku, menyapa ayah Salwa.
“Huff……” dia
menghela napas panjang. Wajah nanarnya memandangku.
“Perasaanku tidak enak, pikiranku melayang-layang. Aku tak
bisa menggerakkan sebelah badanku, persis seperti almarhumah ibunya Salwa,
dulu.” Katanya dengan ekspresi wajah nanar.
Tidak lama berselang, datanglah Raihan. Ia adalah ketua
Karang Taruna sekaligus ketua Remaja masjid di kampung kami. Entah apa sebabnya
hingga dia merangkap dua jabatan sekaligus. Jabatan yang dulu pernah kuemban
sebelum periodenya. Aku teringat waktu aku mengalahkan dia dalam beberapa kali event pemilihan. Hingga dia menolak
untuk kumasukkan sebagai anggota dalam struktur organisasi itu. Sejak itu dia
mulai menjaga jarak denganku. Seperti enggan bekerjasama, begitu. Tapi aku tak
merasa telah mengintimidasinya. Itu adalah cerita masa lalu tentang demokrasi
di kampung kecil kami.
“Assalamu ‘alaikum,
Pak! Sudah agak baikan, Pak?” sapanya
kepada Pak Mirdan. Sepertinya dia telah beberapa kali datang menjenguk beliau.
Sebelum aku datang, pastinya. Dia tak melirikku sedikitpun. Mungkin masih
sungkan denganku, sarjana fresh graduated.
Sedang ia tak punya nasib sebaik diriku dalam pendidikan. Hanya sampai SMA.
Itulah riwayat pendidikan tertingginya. Dulu, karena takut menantang badai
pendidikan, dia memutuskan untuk tetap membajak sawah di kampung. Seperti takut
keluar dari comfortable zone. Aku,
dengan semangat nekad dan falsafah ibuku, kuberanikan diri menantang badai itu.
“Orang yang menempuh jalan pendidikan akan selalu memiliki
jalan keluar dari setiap masalahnya, termasuk masalah biaya,” pesan suci ibuku
kala itu. Dan benar saja! Aku telah melewati badai itu selama 4 tahun lamanya.
Tak terlalu menakutkan kukira. Di sana kutemukan tangan-tangan Tuhan bekerja.
“Yah, seperti yang
kau lihat!” jawab pak Mirdan terbata-bata.
“Bapak harus ke rumah sakit, ke dokter yah?” bujuknya. Pak Mirdan menggeleng tak setuju.
“Tidak usah, Kak Ian! Aku telah memanggil Puang Makare’
untuk mengobati Bapak.” Salwa menyela.
“Ehmmm…..!” Sosok nyentrik nan misterius tiba-tiba muncul
dengan dehem panjang. Pakaiannya serba hitam, janggut dan kumisnya panjang.
Guratan kasar pada wajah tuanya tampak. Ekspresinya berbau mistis. Matanya
menatap tajam sekeliling ruangan. Bau kemenyan semburat dari bajunya. Posisi
duduknya berada di sebelah kanan kepala Pak Mirdan yang sedang terbaring lemah.
“Darurat!” teriaknya mengagetkan.
“Daun Sirikaja
Sampoddo’, Tingara Bulan Latuppa’, Bunga Suruga Sesean, kamu!” pekiknya.
Telunjuknya mengarah ke aku.
“Kak Pudding yang harus mengambil obatnya,” Salwa
menerjemahkan potongan-potongan kalimat dari dukun sakti itu.
“Biar aku saja!” tawar Raihan. Padahal sebelumnya dia adalah
orang yang sangat menentang segala hal yang berkaitan dengan Puang Makare’.
Entah apa sebabnya.
“Tapi!
“Tiga hari!
Ultimatum Puang Makare’ meninggi, sambil berlalu
meninggalkan kami.
“Mohon bantuannya Kak Pudding. Demi ayah Salwa!”
Salwa mengiba. Air matanya tumpah. Dipandanginya wajahku.
Juga ayahnya yang sedang terbaring lemah. Aku tak punya pilihan. Tak tega aku
melihat Salwa menangis.
“Baiklah! Pagi ini aku akan berangkat!
“Terima kasih, Kak!”
Air matanya diusap. Sebuah senyum manis mengembang disana.
Bergegas kutinggalkan mereka. Sesaat kemudian kukembali dengan
tas punggung dan rain coat berwarna
hitam.
“Ini bekal buat kakak. Semoga semuanya lancar.”
Sebuah bungkusan plastik diserahkan Salwa padaku. Tanpa
membuang waktu, aku pamit. Kulaju motorku. Pikiranku menerawang.
“Demi Salwa, juga Festival Ma’balendo!
Ibuku telah menerangkan perihal obat tadi. Daun Srikaya di
Tebing Sampoddo’, Daun Pegagan di air terjun Latuppa dan bunga edelweiss di puncak Sesean, Toraja.
Petualangan baru, pikirku.
“Sssssssssssssttttt….”
Ban motorku pecah. Sampoddo’ masih setengah kilo. Apa boleh
buat. Kutuntun motorku, sembari mencari tukang tambal ban.
Setelah perjalanan melelahkan, aku temukan tukang tambal
ban. Tepat beberapa meter di depanku. Bukit Sampoddo’. Tebingnya telah
kelihatan.
Ban motor sudah kelar. Kulanjutkan perjalanan. Tiba di sana,
kuparkir di depan salah satu kios penjual jagung yang berjejer rapi di lereng
bukit itu. Sejenak kunikmati pemandangan Teluk Bone. Juga beberapa bagian dari
Kota Palopo dan perbatasannya dengan Kabupaten Luwu. Indah sekali.
Misi pertama, mencari daun sirsak. Kutekuri jalan setapak
yang terjal. Menanjak curam. Pohon Jati dan tanaman perdu disekelilingku. Burung
punai dan jalak bermain riang di pokok kesambi.
“Itu dia!” seruku melihat pohon srikaya. Buahnya belum ada.
Namun pokok pohonnya telah besar. Daunnya lebat dan tinggi. Butuh keahlian
khusus, memanjat. Kurambati pohonnya. Kuraih beberapa lembar dan segera
beranjak menuruni bukit itu.
Mesin motor satria-ku
berderu. Latuppa, misiku berikutnya. Tak ada hambatan memasuki Kota Palopo.
Perutku juga lumayan kenyang dengan mie seduh plus jagung rebus. Makan siangku sebelum meninggalkan Sampoddo’,
tadi.
Kilometer 9 Latuppa. Hawa sejuk mulai menusuk jari-jari tanganku.
Motor kuparkir di samping rumah salah seorang warga. Di hadapanku terhampar
badan sungai Latuppa. Gemercik air mengalun. Airnya begitu jernih. Bermain di
sela-sela bebatuan besar. Pohon pinus, durian dan rambutan yang memerah dengan
buahnya berjejer rapi di sepanjang bantaran sungai. Terpaksa kuharus berjalan
sejauh 50 kilometer. Akses jalan tak memungkinkan untuk mengendarai motorku.
Perkebunan kakao kuterabas. Melewati bebatuan di tepi sungai. Jalan agak
sedikit menanjak. Beberapa kali aku terjatuh. Celanaku basah. Biarlah, ini
bagian dari perjuangan, kukira. Beberapa air terjun kecil telah kulewati. Dan
kini aku tiba di air terjun tertinggi. Tebing batu cadas itu kurambati. Puncaknya
kudaki. Ada segumpal kekhawatiran dalam diriku. Takut terjatuh dan tak ada
siapapun yang menolong. Tentu saja sangat berbahaya. Permukaan batu yang licin.
Ketinggian yang menguras tenaga untuk menggapainya. Tapi dengan tertatih
kucapai juga puncaknya.
“Tingara Bulan!”
seruku sembari berlari kecil menghampiri kawanan tumbuhan pegagan yang tumbuh
subur di puncak air terjun itu. Hijau. Segera kupetik dan kupenuhi kantong
plastik hitamku dengannya. Misi kedua berhasil. Namun kembali nyaliku harus
diuji, menuruni lereng air terjun tadi.
Lelah, namun harus berjalan. Kususuri kembali jalan pulang.
Awan hitam telah berarak di mega. Tak lama, gerimis menyapaku. Satu persatu
jatuh dari langit. Kawanan kelelawar berebut buah rambutan bermain di
pohon-pohon rambutan. Ini memang musim buah rambutan dan durian. Icon buah dari daerah indah ini. Hoodie rain coat kukenakan. Tak lupa tas
kuselubungi dengan rain cover
bertulis Avtech. Gelap kini menyapa. Torch light kupasang dikepala. Nyalanya
menemaniku menyusuri jalan setapak di bawah perkebunan kakao. Dari jauh cahaya
listrik telah kulihat. Di depanku perkampungan itu. Motorku ada disana.
Niat menghabiskan malam di rumah Firman Patawari urung.
Temanku itu sedang tak di tempat. Vila-nya
kosong. Terpaksa kulewati malam dingin di sebuah teras masjid. Di sampingnya
mengalir sungai Latuppa. Suara jangkrik dan gemercik air bersahutan. Seakan
sedang memainkan sebuah lagu dalam orkestrasi sederhana. Kabut tipis menutupi
perkebunan kakao. Beberapa orang menawariku untuk menginap di rumahnya, namun
kutolak. Takut merepotkan. Kupejamkan mata. Dingin merambati tubuhku. Kueratkan
kembali tali rain coat-ku. Makan
malamku di kedai kecil tadi sedikit membantu menghangatkan tubuh. Segelas
wedang jahe, semangkuk mie rebus dengan cabai rawit dua biji didalamnya. Juga
beberapa potong kue kering. Bekal bungkusan merah dari Salwa. Senyum Salwa
hadir dalam mimpiku. Menghiasi malam yang kian mengikis kalor tubuhku.
Pagi menyapa. Kabut tipis memayungi pepohonan. Burung pipit,
jalak dan punai terbang kian kemari. Bermain di ranting pohon cemara. Kokok
ayam turut meramaikan pagiku. Bersahutan
membangunkan manusia yang sedang melawan gigil dan kantuk.
Misi berikutnya gunung Sesean. Ini adalah hari kedua.
Kupenuhi tangki motorku dengan bahan bakar. Kembali kulaju motorku. Arah jalan
ke Toraja kulalui. Pemukiman penduduk kota Palopo berganti dengan hutan pinus.
Matahari telah nampak. Sinarnya sedikit menghangatkan. Perutku mulai lapar
lagi. Dalam cuaca dingin memang metabolisme tubuh agak cepat, pikirku. Tiba di
Puncak, mendekati perbatasan daerah Palopo dan Toraja, kurehat sejenak.
Beberapa lapak menyajikan makanan khas. Wajik kacang, wajik ketan, Lemang
pulut, arak nira, rambutan, langsat, durian, jagung rebus, sampai madu murni tersedia
di sana. Kesempatan untuk wisata kuliner, kukira.
“Baje’ kacang satu dan peong setengah saja.”
Baje’ sebutan untuk wajik dan peong
sebutan untuk lemang pulut. Tak lupa favoritku, semangkuk mie rebus dengan
telur setengah matang dan cabe rawit dua biji di dalamnya. Sarapanku ditepi
lereng bukit menuju Toraja begitu mengasyikkan. Di depanku terhampar pegunungan
hijau. Di ujung sana ada teluk Bone, meski tidak sejelas pemandangan di
Sampoddo’. Sebelah selatannya kulihat kubah Masjid Agung dan puncak gereja
Santo Mikael. Lambang kota religi Palopo. Jalanan aspal di bawahku meliuk-liuk bak ular.
Sungai pun tampak demikian. Berliku menuruni lereng gunung. Beberapa gumpalan
kabut masih berjelaga di atas pepohonan. Udara sejuk terasa namun pelan
berganti hangat. Seiring meningginya sang surya. Di ketinggian itu dapat
kulihat seluruh Kota Palopo.
Jam menunjukkan angka sembilan. Bergegas kulanjutkan
perjalanan. Belum setengah, kukira. Semakin jauh perjalananku, semakin dingin
merasukiku. Jalan yang tadinya jelas dihadapanku, kini ditutupi kabut tebal.
Pohon cemara yang menjulang tinggi semakin menambah aura mistis perjalananku.
Lampu motor kunyalakan. Kuterabas jalan berliku nan buram itu. Sesekali aku
berpapasan dengan kendaraan menuju Kota Palopo. Dengan hati-hati, kubulatkan
nyali untuk terus menarik gas motorku. Melaju menuju destinasi ketiga, gunung
Sesean.
Kini jalanan menurun. Memasuki kawasan Toraja hatiku tambah
bersemangat. Gunung Sesean, Kec Sesean
Suloara yang terletak di ketinggian 1300 mdpl
itu telah pijak. Konon tempat ini masih banyak menyimpan misteri. Dan, benar
saja! Di sana kutemukan ritual membangunkan mayat yang menjadi tradisi warga
setempat. Ma’nene. Itulah namanya.
Mayat hari itu bernama Julius Rante Allo. Usia hidupnya sekitar 90 tahun. Telah
diawetkan selama 80 tahun. Anggota keluarga mengganti pakaiannya, sembari
memainkan tari ratapan yang disebut Ma’badong. Setelah itu, jenasah dibaringkan
kembali ke dalam peti. Selanjutnya disimpan pada liang batu di tebing-tebing
gunung yang telah dipahat.
Konon mayat orang Toraja selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi
itu erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat setempat. Mereka meyakini
leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Tak layak jasad orang yang
meninggal dikuburkan di dalam tanah. Bagi mereka hal itu dapat merusak kesucian
bumi yang berdampak pada kesuburan tanah. Demikian hasil wawancaraku dengan
penduduk setempat. Meski awalnya takut, namun kuberanikan diri melihat sebagian
prosesi tersebut.
Kembali
kulanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Sesean. Puncak Gunung Sesean berada di ketinggian 2100 mdpl. Setelah melewati sembilan pos,
akhirnya aku bisa sampai juga. Perjalanan yang sangat melelahkan. Kubuka tasku.
Kuraih sebotol air minum yang kuisi ulang di pos enam. Tiba-tiba aku berteriak
histeris.
“Bunga
Suruga! Sungguh elok dirimu!”
Kucoba meraih beberapa tangkai di
tepi tebing di atas puncaknya. Sangat memacu adrenalin-ku. Tanpa sengaja, botolku terjatuh oleh tiupan angin
kencang. Berguling menyusuri sisi cadas tebing dan akhirnya kulihat bertengger
jauh di bawahku. Pupus sudah harapanku satu-satunya untuk penawar dahaga.
Tak kusia-siakan tenaga yang
tersisa. Aku beranjak menuruni puncak bukit. Tubuhku gemetar. Dehidrasi akut!
Bibirku pecah-pecah dan kering. Wajahku pucat pasi. Langkahku berat sekali.
Pandanganku mulai berkunang-kunang.
Untunglah ada sepasang Bule’ backpacker asal Canada melintas.
Aku diberi air minum dan ransum. Istirahat sejenak, tubuhku segar kembali.
Kuucapkan terima kasih kepada mereka. Ternyata mereka juga ingin melihat puncak
gunung Sesean.
***
Perjalanan
pulang tak memiliki hambatan berarti. Hanya sesekali istirahat dan mengisi
bahan bakar. Tiba di rumah Pak Desa Mirdan, kulangsung disambut oleh senyuman
manis Salwa. Disana juga telah hadir dukun nyentrik yang telah mendaulatku
mengambil obat dari tumbuhan di tempat nun jauh, Puang Makare’.
Rebusan
pegagan diminumkan ke Pak Mirdan. Tubuhnya diberi asap sauna hasil pembakaran
arang dan bunga edelweisss. Lalu dimandikan
dengan rebusan daun sirsak. Ritual itu dilakukan selama tiga hari.
Seminggu
kemudian Pak Mirdan telah pulih kembali. Ternyata pengobatan mistis ala Puang
Makare’ sangat manjur. Belakangan aku mengetahui bahwa ketiga jenis tumbuhan
itu berfungsi melancarkan peredaran darah. Alasan mengapa harus diambil di
tempat yang jauh belum kudapat.
“Mungkin agar khasiatnya terjaga, maka harus
diambil di tempat yang alami dan terjaga dari polusi!” batinku
mengira-ngira.
Panitia
telah dibentuk. Hari pelaksanaan pun sudah dekat. Sisa satu hari. Persiapannya
sudah rampung. Namun masalah baru muncul.
“Hentikan
saja niatmu untuk melaksanakan Festival Ma’balendo Pudding! Syirik!” pekik
Raihan di depan massa yang dibawanya. Rupanya ia telah menghasut beberapa warga.
“Alasannya?”
tantangku.
“Nanti
pasti akan ada Tedong Bulan yang
disembelih. Dan itu pasti dimulai dengan ritual bakar kemenyan. Tentunya orang
yang akan kau daulat untuk melakukan semua itu adalah Puang Makare’, bukan?
Kalau bukan syirik, itu apa namanya?”
“Betul!
Bubarkan!” sorak pendukung Raihan.
“Siapa
yang akan menghentikan Festival Ma’balendo, akan berhadapan dengan saya!”
Sanggah Pak Mirdan dengan mimik serius. Mendengar itu, kerumunan tadi semburat
ke rumah masing-masing. Raihan pun demikian.
“Lanjutkan
saja!”
“Baik,
Pak! Tedong bonga-nya telah siap. Wakaf Pak Ahmad. Dua ekor!” jawabku berapi-
api.
“Bagus!”
Lapangan
telah disesaki oleh kerumunan manusia. Bendera berwarna-warni telah berkibar
melambai-lambai. Segala macam buah-buahan dan hasil kebun tersaji. Ada yang
diolah menjadi masakan. Namun ada yang dalam bentuk segar. Yang membuat Mark
dan keluarganya takjub adalah ketika Tari Ma’balendo dimulai. Lelah perjalanan
dan baru tiba pagi ini, tak membuat mereka malas membaur. Dengan bergaya khas
pelancong, mereka menebar sapa dan senyum. Di sana, Beberapa pasang pria dan
wanita mengenakan pakaian adat. Dominan warna hitam. Masing masing menenteng
alu di hadapan lesung. Bergantian menumbukkkan alu ke lesung yang berisi
beberapa helai padi. Hasilnya, tarian eksotik dari Tana Luwu, Ma’balendo.
Ma’Balendo menurut Pak Mirdan berarti membuat suara gaduh. Namun gaduh yang
mengalun harmonis. Beberapa pasang anak-anak juga memainkan dua pasang tongkat yang
ditabrakkan satu sama lain. Sesekali dibuka sehingga membentuk formasi segi
empat. Dua orang melompat masuk dan sesaat kemudian menghindari jepitan tongkat
tadi. Luar biasa!
Sempat kuteringat apa yang
di khawatirkan Raihan. Dan kutemukan jawabannya. Puang Makare’ tetap membakar
kemenyannya, namun Raihan yang didaulat menyembelih tedong bonga. Kini dua ekor kerbau putih berharga puluhan juta itu
telah meregang nyawa. Tak berapa lama, dagingnya telah berada di kuali besar
dengan berbagai jenis resep masakan. Kulihat Mark dan keluarganya tak hentinya mengabadikan
moment itu. Setidaknya sebelum bertolak ke Toraja, menyambut Lovely Desember.
Impianku telah terwujud.
Inilah wujud syukur kami, masyarakat Tana Luwu. Kemeriahan itu diakhiri dengan
makan bersama dalam bingkai kekeluargaan. Sungguh harmonis.
|
kapurung, kuliner lezat dari tana Luwu |
|
Lembata Tana Luwu |
|
indah kampung halamanku: Tana Luwu |
|
Sao' Lebbi'E |
Teruntuk desaku nan permai; DESA
BUNTU BARANA, KEC. SULI BARAT, KAB. LUWU