Luka
sedarah
Syahrir
al-Ghifary
Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ketika sikap loba menguasai
seseorang, maka tak ada alasan baginya untuk membesarkan hati. Rela berbagi
berarti membiarkan dirinya menggenggam sedikit. Pada saat yang sama pedih
melihat kebahagiaan menghinggapi sesamanya.
“Tidak!”
“Sekali iniiii saja! Berikanlah kami kesempatan untuk
menggarapnya. Bukankah kami juga punya hak atasnya?”
“Tahu apa kamu masalah hak? Hakmu tidak ada. Akulah
satu-satunya yang berhak menentukan siapa yang akan memegangnya! Tidak juga
rapat ini!”
“Pak Lurah, bicaralah! Bantulah kami. Jangan diam
saja. Warga sekalian…., Pak Karim……., Pak Bahar, Bu Sita, ….mengapa kalian
semua diam? “Suara parau wanita itu bercampur tangis yang tak berujung. Ada
luka pengkhianatan menghujam dalam dadanya. Sementara tuan itu melemparkan
pandangannya jauh keluar jendela. Seolah tak ada iba untuk wanita itu. Sebuah
senyum kecut tersungging di wajahnya, senyum kemenangan. Pun manusia lain di
ruangan pengap itu hanya bisa tertunduk. Takluk pada kedigdayaan sang tuan .
Tongkat, keriput
dan rambut putih tak selamanya menghadiahi seseorang kebijaksanaan, terkadang
sebaliknya.
“Rapat ini
selesai. Saya mau pulang! ”seloroh tuan itu sembari terbatuk-bantuk lalu melangkah
gontai meninggalkan ruang rapat. Diikuti
kerumunan yang sedari tadi diam tertunduk.
Hak memang menjadi benda yang mahal. Pada
siapa ia disematkan, kadang harus ditentukan oleh uang, jabatan dan kekuasaan.
Tepatnya ke -mahadigdaya-an.
Langit tiba-tiba menumpahkan isinya. Semburat jingga
terusir oleh gelap yang menjelaga. Wanita itu masih saja duduk bersimpuh di
depan pintu yang sedari tadi terkunci oleh petugasnya . Tatapan nanar ditujukan
pada papan bertuliskan Balai Desa. Hatinya mengutuki nasibnya. Pun lembaga yang
tak punya daya itu. Wajah piasnya bergeming, seolah tak hirau pada angin yang
mengantar air pada tubuhnya.
“Sendiri. Aku
benar-benar sendiri. Tak ada yang menghiraukanku”.Batinnya menjerit.
“Tuhaaaaaaaaaaan!”
***
Ibu. Perempuan dengan rasa pengorbanan yang tak terkalahkan
oleh siapapun. Sosok pemberani yang rela bertaruh nyawa demi mendengar suara
tangis bayinya. Tangis yang disambut bahagia. Tangis pertanda ada kehidupan
baru yang akan mewarnai hari-harinya. Seperti yang dilakoni wanita itu.
Berpuluh kali ia diusir, beratus kali ia bertaruh harga diri. Demi anak semata
wayangnya. Juga hak yang ia warisi dari sang empunya, nenek moyangnya.
“Ibu, aku dengar ibu memperkarakan hak itu lagi. Demi aku?” lelaki muda itu
menatap ibunya dalam-dalam. Tetes bening
menuruni wajahnya yang tirus. Wanita itu menoleh sejenak. Berusaha mengalihkan
pandangannya yang kosong ke wajah yang sangat ia cintai. Ada kesedihan yang
meledak-ledak dalam dadanya. Sedikit lagi pertahanannya akan jebol. Matanya
memerah. Ia menggigit bibirnya. Sisa tenaga ia kerahkan untuk tersenyum dan
secepatnya ia menoleh kembali ke langit malam yang menggantungkan bulan.
Memunggungi anak itu. Ia tak ingin terlihat rapuh, meski tak sempat
menyembunyikan beberapa butir air mata.
“Nak, hak itu harus diperjuangkan. Kalaupun tak
mendapatkannya, maka kita telah punya alasan untuk berdiri di depan pengadilan
Tuhan, kelak. Sekolahlah setinggi
mungkin. Agar kau dapat membagi
kebahagiaan kepada yang lainnya. Begitu juga hak. Berikanlah pada yang berhak.
Karena sekali kau menelan sesuatu yang bukan hakmu, maka api neraka telah
bersarang di perutmu”. Wanita itu berpesan pada anaknya.
“Iya ibu, sekarang mari kita masuk. Tak baik mengadu
badan ibu dengan angin malam”
“Kamu saja, biarkan ibu sejenak. ”
Dengan langkah
berat, anak itu meninggalkan beranda. Beranjak ke tempat tidurnya,
setelah melingkarkan selimut merah yang telah pudar. Selimut peninggalan
almarhum ayahnya.
Tuhan tak pernah tidur. Dia tahu makhluknya
yang berbuat kemungkaran. Begitu juga Dia tak akan pernah salah dalam
menghukum. Hanya butuh sedikit kesabaran untuk melihat hasil yang dituai dari
buah kerja kita.
“Ibu, Uwa’
Butta’ sekarat! Penyakit jantungnya kumat. Ia membutuhkan kita. Ayo kita ke
rumahnya!” anak itu berlari terengah-engah menghampiri ibunya yang sementara
duduk memeluk foto almarhum suaminya. Ia berusaha membantu ibunya bangkit dari
tempat duduknya.
“Tidak! Jangan kau sebut nama itu. Bukankah ia telah
mengharamkan hubungan darah kita? Untuk apa kita kesana.”
“Hanif!!!!kau jangan mengajari ibu. Apa kau lupa
dengan penghinaan tuan itu pada kita? Apa kau lupa tentang kematian ayahmu yang
tak wajar? Apa kau lupa tanah yang telah dirampasnya dari kita? Tanah yang
leluhurmu simpankan untuk masa depanmu!” Wanita itu menampik tangan anaknya.
Wajahnya merah padam.
“Ibu, maafkanlah kesalahan Uwa’ Butta’!” anak itu
memelas, meski dia tahu tak mudah merubah pendirian ibunya. Wanita itu
bergeming. Lalu ditinggalkan sendirian. Anaknya berlari pergi ketika sirine
ambulans meraung, melintas di depan rumahnya.
“Hahahhaaaa…lihatlah akibatnya. Tuhan akan membalas
semua luka-lukaku! Lihatlah, wahai warga desa!” Teriak wanita itu sekeras lagu kematian
yang dinyanyikan sirine ambulans. Mobil itu berlalu membawa tubuh ringkih yang sedang
bertarung melawan malaikat maut.